Rabu, 22 Februari 2017

Tabanan


MEMAAFKAN ITU BERHATI MULIA DAN BERSIH



The weak can never forgive.  Forgiveness is the attribute of the strong
Orang lemah tak pernah bisa memaafkan.  Memaafkan merupakan sifat orang kuat.
-Mahatma Ghandi 1869-1948-

“Meminta maaf dan memberi maaf”
Meminta maaf dan memberi maaf memang sama-sama sulit, namun saya kira memberi maaf jauh lebih sulit.  Mengapa demikian? ada alternatif jawaban mengapa memaafkan lebih sulit ketimbang meminta maaf.  Pertama karena memberi maaf dilakukan oleh orang yang dirugikan atau orang yang tersakiti. Kedua orang yang memberi maaf pastinya berada alam kondisi tersakiti sehingga orang ini punya kecenderungan ingin membalas.  Ini wajar.  Maka dari itu ketika memberi maaf, kita telah melawan kecenderungan manusiawi kita untuk membalas.
“Memaafkan adalah melawan gravitasi bumi dan mengikuti gravitasi langit”
Jadi dapat disimpulkan bahwa memaafkan tentu saja lebih sulit.
Secara alamiah, keinginan membalas itu manusiawi.  Kalau anda disakiti orang kemudian membalas itu wajar dan manusiawi.  Akan tetapi dengan catatan, kita harus membalas persis ssama dengan yang dilakukan orang itu kepada kita. Dari sinilah kesulitanya.  Sering kita membalas perlakuan orang lebih dari apa yang ia lakukan pada kita.   Kita sering memberi bonus.  Misal begini, pacar menyembunyikan agar bisa  jalan jalan sama cowok lain ke tempat obyek wisata, kita membalas dengan jalan jalan sama cewek cewek yang nakal di club malam. Nah pembalasan itu tidak sepadan kan? Jadi sekrang gantian pacar yang merasa dirugikan. Karena itu ia membalas denga jalan jalan sama cewek yang notabenya cewek nakal dan tempatnya juga bisa dibilang jauh dari prasangka baik.  Coba bayangkan apa yang akan terjadi jika kita terus membalas dengan tidak adil.   Maka dari itu saya lebih memilih tidak membalas karena kenapa? Ada alternatif jawaban mengapa saya tidak ingin membalas kesalahan di. Pertama  kerena denga membalas aka menghasilkan sakit hati lagi.  Ini tidak akan berkesudahan dan akan menjadi lingkaran setan.  Kedua Saya ingin mencoba memaafkan tanpa membalas.  Aka tetapi itu sangat sulit sekali karena memang orang yang tersakiti cenderung ingin membalas.  Ketika saya mencoba  memaafkan tanpa membalas kesalahan dia, maka dunia ini serasa tidak seimbang.  Kini aku hidup dalam ketidak seimbagan. 
Meminta maaf tidaklah sesulit memaafkan.  Karena memang orang yag meminta maaf hanya perlu melawan egonya, tapi mereka bukan pihak yang dirugikan.  Justru mereka yag telah menimbulkan kerugian pada pihak lain.  Kalau anda suah merugikan atau mengecewakan orang kemudian hanya membayar kerugian itu engan meminta maaf, tentu tidak terlalu sulit bukan begitu tuan?
Namun untuk sampai pada tindakan meminta maaf anda tidak cukup hanya melawan ego anda.   Melawan ego itu tindakan kita yang paling akhir sebelum kita menemui orang tersebut dan meminta maaf.  Sesungguhnya meminta maaf itu prosesnya panjang, yaitu dimulai dengan keadaran bahwa kita telah melakukan kesalahan.  Karena itu inti dari meminta maaf adalah perasaan menyesal.  Meminta maaf tanpa rasa menyesal sesungguhnya bukanlah meinta maaf.
Banyak sekali yang mengatakan bahawa memaafkan orang akan membuat kita rugi dua kali kenapa demikian? Pertama, Kita sudah rugi karena disakiti atau dikecewakan oleh orang lain.  Kedua Kita tambah rugi karena harus memberikan maaf kepadanya.  Karena itu banyak orang yang karena begitu marah atau benci kepada orang yang telah menyakitinya mengatakan begini “ sampai mati pun saya tidak akan melupan itu dan tidak akan memaafkan orang yang telah menyakitiku. Saya  akan mendoakan kamu supaya kamu juga harus  merasakan kesakitan saya dan saya percaya bahwa hukum karma itu ada.   Menurut saya ini sangat disayangkan karena dengan begitu orang tersebut telah memelihara ebuah lukasepanjang hidupnya.   Ada sebuah ungkapan bijak yang biasa kita resapi dan renungkan
Memaafkan berarti melepaskan tawanan ddan menyadari bahwa tawanan itu adalah diri kita sendiri.
Kesimpulanya, dengan memaafkan kita sendiri  yang akan memetik keuntunganya.
Memaafkan aka membuat hati kita jadi tenang dan damai.  Memaafkan aka melindungi diri kita dari pengaruh orang tersebut.  Memaafkan akan mebuat kita menjadi orang yang tidak mudah disakiti orang lain. Memaafkan itu berharti mulia dan bersih.

“Memaafka berawal dari kita sendiri”

Sebenarnya orang yang menyakiti kita ini sama sekali tidak akan mendapat maafaat apapun bila kita memaafkanya.  Kita endirilah yang akan mendapatkan manfaat dengan memaafkan orang lain.

Selasa, 21 Februari 2017

CONTOH CV / DAFTAR RIWAYAT HIDUP



SKRIPSI BERSAMA Prof. DR.A.SOBANA HARDJASAPUTRA, M.A.




MOMENTUM PENULISAN AKHIR DRAFT SKRISI
Babantar (rumah keluarga Yosep), 2 Juni 2016


SKRIPSI PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN KABUPATEN INDRAMAYU TERHADAP TENTARA JEPANG TAHUN 1944



PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN KABUPATEN INDRAMAYU
TERHADAP TENTARA JEPANG TAHUN 1944


KATA PENGANTAR



DAFTAR ISI





BAB I
PENDAHULUAN



1.1     Latar Belakang Penelitian
1.2     Rumusan Masalah
1.3     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.4     Metode Penelitian
1.5     Sistematika Penulisan




BAB II
GAMBARAN PENDUDUKAN  JEPANG DI JAWA BARAT



2.1     Serbuan Tentara Jepang ke Jawa Barat
2.2     Tujuan Pendudukan dan Sistem Pemerintahan Jepang
2.3     Tindakan Tentara Jepang di Daerah Indramayu


BAB III
LATAR BELAKANG PERLAWAN PETANI DESA KAPLONGAN TERHADAP TENTARA JEPANG



3.1     Gambaran Desa Kaplongan
3.2     Gagasan dan Tujuan Perlawanan
3.3     Alasan Perlawanan
3.3.1   Pemerintahan
3.3.2   Sosial Ekonomi


BAB IV
PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN ERHADAP TENTARA JEPANG DAN DAMPAKNYA







4.1     Persiapan Perlawanan
4.2     Bentuk dan Jalanya Perlawanan
4.3     Akhir Perlawanan
4.4     Dampak Perlawanan
4.4.1   Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Kaplongan
4.4.2   Terhadap Pemerintahan Pendudukan Jepang

BAB V       PENUTUP
5.1    Simpulan
5.2    Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

INDEKS


KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini yang berjudul PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN KABUPATEN INDRAMAYU TERHADAP TENTARA JEPANG TAHUN 1944 masih jauh dari kesempurnaan baik mengenai susunan, kata, bahasa, isi dan bentuknya. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi pada Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis.
Bantuan moral maupun material telah banyak penulis dapatkan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu dengan ikhlas penulis menyampaikan terimakasih yang sebanyak - banyaknya kepada:
1.     Bapak Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A. selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyempatkan waktunya untuk mengkoreksi hasil penulisan karya ilmiah berupa skripsi.
2.     Bapak Yeni Wijayanti, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis.
3.      Bapak Dr. H. Kusnandi, Drs., M. M., M. Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis.
4.     Ibu Sri Pajriah, S. Ag, S. Pd,. M. Pd. selaku Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis.
5.      Seluruh Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah beserta staf, atas segala bantuannya selama perkuliahan.
6.     Orang tua yang telah memberikan dukungan kepada penulis, baik materil, moril, kasih sayang serta doa restu demi terwujudnya skripsi ini.
7.     Seluruh keluarga yang telah memberi motivasi kepada penulis.
8.     Seseorang yang saya cintai yang telah memebrika motivasi kepada penulis.
9.     Sahabat-sahabat dalam memberi dorongan moril kepada penulis.
10. Semua pihak yang telah mambantu selama penyusunan skripsi ini.
            Allah maha mengetahui setiap amal baik hambanya dan semoga kebaikan-kebaikan mereka mendapatkan balasannya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.




Ciamis,                        2016


Penulis


DAFTAR ISI


LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG
PERYATAAN
ABSTRAK
ABSTRACT
MOTTO
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1     Latar Belakang Penelitian.................................................................. 1
1.2     Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3     Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................ 2
1.4     Metode Penelitian.............................................................................. 2
1.5     Sistematika Penulisan......................................................................... 2

BAB II GAMBARAN PENDUDUKAN JEPANG.................................... 3
2.1     Serbuan pasukan Jepang kedaerah Jawa Barat........................... 3
2.2     Tujuan Pendudukan dan Sistem pemerintahan Jepang.............. 3
2.3     Tindakan Tentara Jepang di Daerah Indramayu......................... 3

BAB III LATAR BELAKANG PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN TERHADAP TENTARA JEPANG......................................................................................................... 3
3.1     Gambaran Desa kaplongan................................................................. 4
3.2     Gagasan dan tujuan perlawanan......................................................... 4
3.3     Alasan perlawanan............................................................................. 4
3.3.1   Pemerintahan............................................................................ 9
3.3.2   Sosial Ekonomi......................................................................... 9

BAB IV PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN TERHADAP TENTARA JEPANG DAN DAMPAKNYA.............................................................................................. 3
4.1     Persiapan Perlawanan..................................................................... 10
4.2     Bentuk dan Jalanya Perawanan.......................................................... 10
4.3     Akhir Perlawanan............................................................................... 10
4.4     Dampak Perlawanan........................................................................... 10
4.4.1   Terhadap kondisi Sosial Ekonomi Petani Kaplongan............... 11
4.4.2   Terhadap Pemerintah Pendudukan Jepang............................... 12

BAB V PENUTUP......................................................................................... 14
5.1     Simpulan........................................................................................... 14
5.2     Saran................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 15
LAMPIRAN................................................................................................... 15
INDEKS.......................................................................................................... 15





 

abstrak



            Perlawanan petani Desa Kaplongan bulan April 1944 terhadap tentara Jepang yang menduduki daerah Indramayu mencakup Desa Kaplongan, merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Indonesia terhadap tentara pendudukan Jepang.
            Dalam mengungkap masalah tersebut, metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode sejarah yang mencakup empat tahapan kegiatan, yaitu heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber), kritik sumber, interpretasi terhadap data sehingga diperoleh fakta, dan historiografi.
            Dengan landasan metode tersebut, diungkap latar belakang perlawanan, gagasan dan tujuan perlawanan, jalannya perlawanan, akhir perlawanan dan dampaknya bagi petani dan pemerintah pendudukan Jepang. Penelitian hal-hal tersebut menunjukkan, bahwa peristiwa itu pada dasarnya sama dengan perlawanan rakyat Singaparna terhadap tentara Jepang pada tahun yang sama.

Kata kunci: Perlawanan petani, Tentara Jepang, Desa Kaplongan.





BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang Penelitian
Pendudukan Jepang di Jawa Barat mengakibatkan timbulnya perlawanan dari rakyat di beberapa daerah terhadap tentara Jepang, satu diantaranya adalah perlawanan petani di desa Kaplongan, Kabupeten Indramayu. Peristiwa itu menarik untuk diteliti atau diungkap karena beberapa alasan.
Pertama perlawanan petani di Desa Kaplongan salah satu bentuk sejarah lokal yang bersifat unik.  Dikatakan demikian, kerana petani yang tidak memiliki senjata modern berani melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang yang bersenjata modern.
Kedua dalam beberapa tulisan terdahulu, peristiwa itu belum terungkap secara menyeluruh.  Misal, dalam buku berjudul Sejarah Perlawan Terhadap Kolonialisme dan imprialisme di Daerah Jawa Barat, terbitan Direktorat Sejarah dan nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1982/1983), perlawanan rakyat Desa Kaplongan hanya disinggung dalam membicarakan perlawanan rakyat Indramayu tahun 1944.  Skripsi berjudul Perjuangan petani Kaplongan terhadap Jepang April 1944 (2012) yang dibuat oleh Ahmad Fauzi, seorang mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, inti uraian hanya membicarakan kronologi perjuangan petani terhadap Jepang dan dampak pemberontakan petani terhadap Jepang, dan Bab IV. Latar belakang peristiwa, persiapan pemberontakan, dan bentuk serta jalanya pemberontakan, tidak diungkap (Fauzi, 2012).
Ketiga, penelitian peristiwa itu memeiliki arti penting, antara lain untuk menambah informasi mengenai perlawanan petani desa Kaplongan terhadap tentara Jepang serta sejarah lokal Indramayu khususnya, dan sejarah daerah Jawa Barat pada umumnya.  Arti penting lainya adalah untuk menambah dokumentasi tertulis menegania perlawanan rakyat pribuni terhadap tentara Jepang khusunya dan sejarah pendudukan Jepang di daerah Jawa Barat, karena pemerintah Pendudukan Jepang hampir tidak meninggalkan dokumen-dokumen di Indonesia seperti Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan hal-hal itulah maka penulis memilih topik tersebut sebagai objek penelitian, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi ini dengan judul PERLAWANAN PETANI DESA KAPLONGAN KABUPATEN INDRAMAYU TAHUN TERHADAP TENTARA JEPANG TAHUN 1944.

1.2    Rumusan Masalah
Masalah Pokok dari topik penelitian yang diteliti, dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a)    Mengapa petani  Desa Kaplongan melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang, dan apa latar belakangnya?
b)   Bagaimana persiapan petani untuk melakukan perlawanan?
c)    Bagaimana bentuk dan jalanya perlawanan?
d)   Bagaiaman akhir perlawan itu dan apa dampaknya?
1.3    Tujuan dan kegunaan Penelitian
Tujuan mendasar dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah, sesuai dengan data yang diperoleh.  Diharapkan hasil penelitian ini memiliki kegunaan, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
a)        Untuk menambah pembendaharaan atau dokumentasi sejarah lokal Indramayu khusunya dan sejarah daerah Jawa Barat umumnya, terutama menganai perlawanan rakyat terhadap penjajah.
b)        Kearifan dan hal-hal lain dalam peristiwa yang diteliti, diharapkan dapat menjadi pembelajaran, Karena sejarah memiliki fungsi edukatif.

1.4    Metode Penelitian
Perlawanan petani Desa Kaplongan kabupaten Indramayu terhadap tentara Jepang tahun 1944 adalah peristiwa sejarah (sejarah lokal). Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian peristiwa itu adalah metode sejarah.  Metode ini mencakup empat tahapan kegiatan, yaitu heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber tertulis), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Heuristik dilakukan di Bandung, yaitu di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Unpad dan perpustakaan pribadi prof. Dr. A Sobana Hardjasaputra, M.A., dan di Jakarta, yaitu di perpustakaan Nasioanal dan Arsip Nasional.  Sumber tertulis yang dicari terutama adalah sumber berupa dokumen/arsip, buku dan majalah.  Sebelum digunakan, terhadap sumber-sumber itu terlebih dahulu dilakukan kritik sumber (kritik internal dan eksternal) untuk mengetahui kredibilitas isinya. Hal itu dilakukan untuk memperoleh data akurat yang diperlukan.
Interpretasi ditujukan terhadap data, sehingga diperoleh fakta sejarah yang relevan dengan masalah yang diteliti/diungkap.  Berdasarkan fakta yang diperoleh, dilakukan historiografi, yaitu merangkaikan fakta secara sistematis dan kronologis.

1.5    Sistematika Penulisan
Uraian skripsi ini terbagi atas lima bab termasuk bab penutup, dengan penjelasan ringkas sebagai berikut:
Bab I berupa pendahuluan.  Bab ini berisi uraian yang merupakan pertanggungjawaban ilmiah atas pemelihan topik atau objek penelitian dan proses penelitianya.
Bab II berisi uraian mengenai gambaran umum pendudukan Jepang di Daerah Jawa Barat.  Uraia ini diperlukan karena Desa Kaplongan, Indramayu adalah bagian dari wilayah Jawa Barat yang diduduki oleh tentara Jepang.
Bab III Mengemukakan latar belakang terjadinya perlawanan petani Desa Kaplongan terhadap tentara Jepang.
Bab IV Menguraikan peristwa yang diteliti, mencakup pesiapan perlawanan, bentuk dan jalanya perlawanan, akhir perlawanan, dan dampaknya.
Bab V penutup, mencakup simpulan dan saran.
Pada bagian akhir uraian disertakan daftar pustaka, lampiran, dan indeks.

BAB II
GAMBARAN PENDUDUKAN JEPANG DI JAWA BARAT

2.1    Serbuan Pasukan Jepang ke Daerah Jawa Barat
Pada awal bulan Maret 1942 pasukan Jepang memasuki Pulau Jawa, setelah terlebih dahulu berhasil mengalahkan armada sekutu di Laut Jawa (Indonesia. Arsip Nasional, 1988: 22).  Pasukan Jepang yang menyerbu daerah Jawa Barat terdiri atas dua kesatuan, yaitu tentara ke-16 dari Devisi ke-2 dan satu detasemen dari Devisi ke-38.  Mereka mendarat di Jawa Barat pada tanggal 1 Maret 1942 dinihari.  Kesatuan pertama mendarat di Teluk Banten, keatuan kedua mendarat di Eretan Wetan daerah Cirebon.
Pasukan Jepang yang mendarat di Teluk Banten kemudian menyerbu Tanggerang dan Bogor dan mengalahkan pasukan Black Force Australia.  Pasukan Jepang juga berhasil menduduki Karawang.  Akibatnya pasukan Belanda pimpinan Mayor Jendral Schiling yang berkedudukan di Jakarta mengundurkan diri ke Bandung (Djajusman, 1978: 197-198).
Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan bergerak menju dua tempat.  Sebagian kecil menduduki Indramayu dan sebagian besar, yaitu Batalyon Wakatmatsu dari Detasemen Shoji menyerbu Kalijati (Subang) dan berhasil merebut lapang terbang Kalijati yang dipertahankan oleh Angkatan Udara Inggris, sekutu Belanda (Indonesia. Arsip Nasional, 1988: 89 dan Notosusanto, 1979:22).
Tanggal 5 Maret 1942, hampir semua tentara Jepang yang menduduki Kalijati disisipkan untuk menyerbu kota Bandung. Tujuanya adalah untuk merebut kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, Karena waktu itu beberapa pejabat tinggi Belanda beserta keluarganya dari Batavia (Jakarta) mengungsi ke kota Bandung.
Menghadapi serbuan tentara Jepang itu, pasukan Belanda yang berjaga di Bandung, hanya mampu bertahan samapai tanggal 7 Maret 1942, setelah lembang direbut oleh pasukan Jepang (Hardjasaputra, ed., 2000: 69).  Pada tanggal itu di Lembang terjadi perundingan antara wakil pemerintah Hindia Belanda, Yaitu Mayor Jendral Preman mewakili Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jendral Tee Poorten dengan wakil pasukan Jepang, Kolonel Shoji.
Dalam perundingan itu, pihak Belanda bersedia menyerah, tetapi bukan menyerahkan seluruhnya wilayah Hindia Belanda, melainkan penyerahan lokal, yaitu kota Bandung.  Hal itu disetujui oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.  Namun pihak Jepang menolaknya, bahkan pemimpin tertinggi tentara Jepang Jendral Imamura mendesak agar pemerintah Hindia Belanda menyerahkan secara total, dan perundingan berlangsung di Kalijati.
Letnan Jendral Teer Poorten meminta kepada Gubernur Jendral Tjarda supaya menolak permintaan pihak Jepang. Akibatnya, Jendral Imamura mengeluarkan ultimatun, bahwa apabila tanggal 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi pemerintah Hindia Belanda belum datang ke Kalijati, kota Bandung akan dibom sampai hancur.  Sehubungan dengan ultimatun tersebut, beberapa pesawat pembom Jepang terbang mengitari wilayah kota Bandung.
Situasi itu menyebabkan Letnan Jendral Teer Poorten dan gubernur Jendral Tjarda serta beberapa pembesar Belanda lainya disertai juru bahasa, tanggal 8 Maret 1942 terpaksa datang ke Kalijati menemui Jendral Imamura pada waktu yang ditentukan oleh pihak Jepang.  Pada hari itu pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Gubernur Jendral Tjarda menyerahkan kekuasaanya atas seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. (Hardjasaputra, ed. 200: 69-70).  Berarti mulai tanggal tersebut, Desa Kaplongan yang termasuk wilayah Kabupaten Indramayu juga menjadi kekuasaan pihak Jepang.
Bersar kemungkinan bahwa tentara Jepang bergerak untuk menguasai pangkalan-pangkalan pesawat yang berada di Kalijati, akan tetapi tidak semuatentara militer Jepang bergerak semuanya ke Kalijati, melainkan ada beberapa pasukan tentara yang bergerak ke daerah Cirebon dan beberapa tempat lainya seperti Indramayu, Kedungbunder, Palimanan, Cangkol. Tempat-tempat itu pasukan Jepang mendidrikan pos militer.  Patut diduga bahwa tentara Jepang masuk ke Cirebon tidak lama setelah terjadi peristiwa menyerahanya pemerintah Hindia Belanda tanpa syarat kepada Balatentara Jepang tanggal 8 Maret 1942.  Hal itu terjadi karena Kalijati-subang Dapat ditempuh dengan kendaraan dalam waktu yang singkat karena hanya berjarak sekitar 118 km,  Selain dari jaraknya yang dekat juga mempunyai arti strategis yaitu Cirebon memiliki pelabuhan yang berfungsi sebagai  tempat berlabuhnya kapal kapal  sebagai kegiatan perekonomian.
Salah satu bukti bahwa tentara Jepang menguasai Cirebon yaitu di tandai dibuatnya bangunan pos-pos milter dengan pegawainya berasal dari Cirebon, Indramayu dan Kuningan. Bukti lain tercermin dari informan yang bernama H. Miqyad yang mengalami pada masa  Jepang  yang tertuang dalam buku Ciirebon dalam lima zaman (Abad ke-15 hingga pertengahan Abad ke-20) menuturkan sebagai berikut.
“Saya tinggal, lahir dan besar di Desa Kedungbunder. Sesama zaman Jepang, tidak jauh dari tempat tinggal saya, sekitar tiga ratus meter berdiri pos tentara Jepang [1](saat ini pada tempat tersebut berdiri pabrik semen, pen).  Pos tentara tersebut berupa bangunan semi permanen terbuat dari bahan kayu yang terdiri dari sekitar lima puluh bangunan sederhana berbentuk seperti ruang-ruang kelas pada sekolah.  Saya tidak tahu sejak kapan tepatnya mereka datang kemudian membangun pos-pos militer dengan pegawai yang berasal dari Kuningan, Indramayu dan Cirebon. (Hardjasaputra, A. Sobana & Haris, Tawaluddin (eds.). 2011: 197).

Boleh jadi daerah Kedungbunder merupakan tempat strategis untuk dijadikan bangunan barak militer Jepang.  Cirebon di masuki dan diduki oleh tentara Jepang, anatara lain dikisahkan oleh seorang infoman penduduk Cirebon bernama Kartini (79 tahun) yang tertuang dalam buku ”Ciirebon dalam lima zaman (Abad ke-15 hingga pertengahan Abad ke-20)” sebagai berikut.
“Berdasarkan cerita orang tua saya, bertita tentang kekalahan Belanda oleh Jepang spontan membuat masyarakat gembira, karena yang terpikir dalam kepala orang-orang adalah, penjajah Belandayang telah berlangsung begitu lama berakhir.  Kegembiraan mereka diwujudkan dengan mengibarkan bendera merah putih dan bendera Jepang.  Suasana kota (Cirebon) juga menjadi ramai, karena banyak penduduk sekitar yanag berdatangan dan berkeliling kota serta larut dalam kegembiraan. (Hardjasaputra, A. Sobana & Haris, Tawaluddin (eds.). 2011: 198).
Pernyataan nara sumber tersebut sekaligus menunjukan gambaran mengenai sambutan masyarakat Cirebon atas kedatangan tentara Jepang.  Kedatangan tentara Jepang ke Jawa Barat memang disambut oleh warga masyarakat pada umumnya dengan gembira.  Secara garis besar, warga masyarakat bersikap demikian boleh jadi karena dua hal.  Pertama, terbuai oleh propoganda Jepang yang menjanjikan “kemakmuran bersama di Asia Timur Raya”.  Tentara Jepang datang ke Indonesia untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan bangsa barat yang telah berlangsung lebih kurang tiga abad.  Kedua, keperkasaan tentara Jepang yang mampu mengalahkan Belanda dalam waktu sangat singkat, sehingga mereka dianggap sebagai “pahlawan”.  Berdasarkan hal itu warga masayarakat menyambut kedatangan tentara Jepang dengan rasa gembira dan sikap simpati.  Sambutan masyarakat yang terekam adalah saat di Jakarta (Batavia), ketika tentara Jepang memasuki kota itu tanggal 5 Maret 1942, disepanjang jalan yang dilalui tentara Jepang, rakyat berjejal menyambut kedatangan mereka.  Demikian pula di Indramayu.  Ketika pasukan Jepang dari Lembang menuju kota Bandung, rakyat menyambut hangat dengan teriakan “banzai” berulangkali. Sementara itu, lagu Indonesia Raya dikumandangkan melalui siaran radio ((Hardjasaputra, ed., 2000: 98-99).
Kiranya di Indramayu pun sambutan rakyat terhadap kedatangan tentara Jepang tidak jauh berbeda dengan didaerah-daerah lain seperti Jakarta dan Bandung.  Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa pemerintah militer Jepang telah menguasai sepenuhnya Indonesia. Adapaun pemerintah militer Jepang tidak hanya menduduki saja, melainkan pemerintah militer Jepang memeliki tujuan dan membentuk pemerintahan di Indonesia.

2.2    Tujuan pendudukan dan sistem pemerintahan militer Jepang
Maksud yang terutama gerakan balatentara Jepang  di pulau Jawa adalah untuk mengusir kekuasaan Belanda, Amerika dan Inggris dari daerah Nusantra ini, tetapi balatentara Dai Nippon memperhatikan benar-benar kepentingan rakyat yang hidup di daerah-daerah peperangan. (Kanpoo, Vol 4. 2603:16).
Disisi lain tujuan utama pendudukan Jepang di beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah untuk memperoleh bantuan, dalam upaya memenangkan Perang Pasifik menghadapi pihak Sekutu. Untuk kepentingan itu, Jepang memerlukan bantuan tenaga manusia dan potensi alam seperti minyak dan lain-lain yang terdapat di beberapa daerah.
Oleh karena itu, objek yang menjadi prioritas serbuan tentara Jepang ke Indonesia adalah daerah-daerah penghasil minyak, antara lain Tarakan (10-11 Januari 1942), Sungai Gerong, dan Plaju. Selanjutnya pasukan Jepang memprioritaskan serbuan ke Jawa Barat, karena daerah itu merupakan pusat pemerintahan dan kekuatan Hindia Belanda (Hardjasaputra, ed. 2000: 68-69). Sebagaian lagi Pemerintah militer Jepang menganggap Pulau Jawa sebagai sumber pangan yang memungkinkan mereka dapat menuruskan oprasi militernya dan memelihara daerah-daerah yang dikuasainya di Asia Tenggara.
Tujuan pemerintah militer Jepang di Jawa Barat diantaranya adalah mengeluarkan peraturan baru yang menyerukan petani harus menyerahkan semua padi mereka, kecuali dua gedeng per rumah tangga. Satu gedeng kira-kira seberat 5 kg.  Sumber-sumber ekonomi dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan industri Jepang, melalui berbagai cara seperti:
a.    Tidak sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah tenaga kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat kita yang meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita kelaparan dan berbagai penyakit.
b.    Para petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada pemerintah Balatentara Jepang.
c.    Hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi kebutuhan konsumsi perang.
Dapat kita pahami diatas bahwa pemerintah militer Jepang bertujuan mengontrol ekonomi secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan industri Jepang.
Untuk menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang. Salah satu bukti yang konkret bahwa Jepang ingin menguasai ekonomi dibidang pertanian dapat dilihat dalam Perluasan areal persawahan. Setelah menduduki Indonesia, Jepang melihat bahwa produksi beras tidak akan mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan areal persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian produksi pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.

Produksi Pangan Tahun 1941-1944
Produksi pangan
Tahun1941
Tahun 1942
Tahun 1943
Tahun 1944
Padi
8.992.480.700
8.308.198900
8.112.522.500
6.811.555.000
Palawija
12.152.578.100
11.805.436.700
10.710.966.900
9.005.566.400
Sumber: G. Mudjanto, 1992.
Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian diawasi secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan rakyat.
Untuk memperlancar usaha-usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian). Tidak hanya itu pemerintahan militer Jepang juga memerlukan bantuan tenaga manusia untuk kepentingan perangnya, ditunjukan oleh pembentuk organisasi militer dan semi militer yang ditujukan bagi para pemuda dan pemudi, setelah tentara Jepang menduduki Indonesia. Organisasi militer dan semi militer yang dimaksud adalah Peta (Pembela Tanah Air), Heiho (polisi), Keibodan, Seinendan, dan Fujingkai (Pasukan Wanita).
Seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa Jepang datang ke Indonesia memeliki tujuan dan membentuk pemerintahan, disisi lain Jepang juga melakukan tindakan tindakan yang bertujuan untuk kepentingan perang Asia timur raya.
2.3    Tindakan Tentara Jepang di Daerah Indramayu
Pemerintah militer Jepang menganggap Pulau Jawa sebagai sumber pangan yang memungkinkan mereka dapat menuruskan oprasi militernya dan memelihara daerah-daerah yang dikuasainya di Asia Tenggara. Sebagai penghasil beras yang setiap tahunya mencapai 8,5 juta ton, pulai ini dianggap sangat penting dalam memenuhi kebutuhan militer Jepang (Kurasawa,1988:86). Untuk menunjang kepetingan itu maka  pemerintah militer Jepang melakukan tindakan terhadap rakyat terutama para petani.
Salah satu tindakannya itu diantaranya adalah pada bula Agustus, Jepang menerapkan peraturan tentang pemunguutan bahan pangan secara sistematis dengan membentuk Shokuryo Kanri Limusyo (SKL, Kantor Pengelolaaan Pangan).  Badan ini menguasai seluruh pembelian dan penyaluran padi dibawah monopoli Negara, menentukan jumlah padi yang akan dibeli masyarakat, menentukan harga resmi padi.  Pemerintah Jepang juga menerapkan peraturan yang mengharuskan petani menjual produksi beras mereka kepada pemerintah sebanyak kuota yang ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.  Padi harus diserahkan kepada penggilingan yang telah ditetapkan pemerintah dan bila petani memiliki kelebihan beras (surplus), mereka tidak diizinkan untuk menjual kepada tengkulak (Kurasawa,1988:87-88).
Pada tahap awal, para petani diminta menyerahkan padinya hanya kuota tetap per hektare, berdasarkan wilayah administrasi, dengan memperkenalkan kuintal sebagai satuan berat padi pada tingkat desa.  Akan tetapi kemarahan petani timbul terhadap peraturan baru yang mengharuskan mereka menyerahkan semua padi, kecuali sejumlah kecil untuk konsumsi keluarganya dan berlanjut dengan perlawanan petani ketika padi sisa merekapun harus diserahkan, yang mengancam kelangsungan hidup mereka.
Para petani Kaplongan diharuskan menyerahkan kuota per hektare yang luar bisa tingginya, biasanya mencapai dua puluh kuintal padi basah, sedangkan di Cirebon ken`kuotanya dua kuintal dan  di Majalengka ken antara empat sampai tujuh kuintal. (Kurasawa.1988:101).  Penyerahan padi yang wajib dilakukan oleh para petani Indramyau termasuk Kaplongan tiga atau empat kali lebih banyak dari pada di  ken lain.
Pungutan padi semakin menekan para petani pada musim panen tahun 1944, setelah menyerahkan kuota tetap per hektare.  Semua sisa padi kecuali untuk konsumsi pangan dan persiapan bibit harus diserahkan kepada pemerintah.  Sistem pungutan padi ini merugikan petani kaya yang kemudian berpengaruh pada penduduk desa yang menggantungkan hidupnya pada mereka sebagai pemilik tanah.  Jika pemilik tanah tidak mempunyai modal untuk penanaman tahun berikutnya, para petani akan menganggur atau berkuranglah upah mereka.  Situasi ini mengakibatkan perlawanan para petani dari berbagai lapisan sosial di luar pejabat desa, yang pada umumnya diprakarsai oleh para petani kaya.  
Patut diduga kuat tindakan tentara Jepang di desa Kaplongan hampir tidak beda jauh dengan tindakan di wilayah Singaparna, Karena perlawanan itu diakibatkan pemerintah militer Jepang mewajibkan penyerahan padi, disisi lain juga pemerintah militer rakyat dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945.[2]  Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta. Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat antara lain  supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela di perusahaan-perusahaan bala tentara Jepang. Para romusha seringkali  mendapatkan  perlakuan  yang  kasar  dari Jepang. Apabila lamban dalam bekerja maka akan mendapatkan siksaan tak jarang berujung pada kematian.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah  Jepang  menerapkan sistem autarki,  yaitu  pemenuhan  kebutuhan  bagi  wilayahnya  sendiri selama perang  berlangsung.  Kemudian  dibuatlah  kebijakan  untuk  mengatur  pasar  di masyarakat,  salah  satunya  tanaman  padi.  Hasil  panen  para  petani  diatur  oleh pemerintah,  dampaknya  masyarakat  pribumi  dipaksa  untuk  menyerahkan  hasil panennya  kepada  Jepang.  Kebijakan  tersebut  memberatkan  masyarakat  pribumi yang  sudah  menderita  akibat  kemiskinan  oleh  adanya inflasi  yang  tinggi  serta harga bahan makanan yang mahal. Hal ini berdampak kepada terjadinya kelaparan dimana-mana dan kematian.








[1] saat ini pada tempat tersebut berdiri pabrik semen.
[2] pemerintah militer Jepang mewajibkan penyerahan padi, disisi lain juga pemerintah militer rakyat dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di indonesia dari tahun 1942 hingga 1945.



A
B
A Sobana Hardjasaputra, M.A. 3
Black Force Australia 5
Arsip Nasional 3
Batalyon Wakatmatsu 5

Bandung 6-7

Batavia 6

Bogor 5






























C
D
Cirebon
Detasemen Shoji 5
Cangkol
Desa Kaplongan 7


































E
F
Eretan Wetan 5






































G
H
Gubernur Jendral Tjarda 6
Heuristik 3-4

Historiografi 3-4
H. Miqyad 8






























I
J
Interpretasi 3-4
Jakarta 6
Indramayu 5
Jendral Imamura



































K
L
kritik sumber 3-4
Lembang 6
Kalijati 5
Letnan Jendral Tee Poorten  6
Kolonel Shoji 6

Karawang 5

Kabupaten Indramayu 7

Kedungbunder 7

Kuningan 8

























M
N
Metode 3

Mayor Jendral Preman 6

Mayor Jendral Schiling 5


































O
P

Perpustakaan Nasioanal 3

Palimanan 7

pos-pos milter 8

































Q
R







































S
T

Tanggerang 5
Subang 5
Teluk Banten 5






























U
V







































W
X






































Y
Z